Ir. JONNI SYAH R. PURBA, MKes

Jl. 28 Oktober Komp. Poltekkes B1 Pontianak

Jumat, 30 November 2007

ANEMIA GIZI

Anemia gizi sangat umum dijumpai di Indonesia. Prevalensinya masih tinggi terutama pada wanita hamil, anak balita, anak sekolah, dan pekerja berpenghasilan rendah. Prevalensi anemia gizi pada balita di Propinsi Kalimantan Barat pada tahun 1995 adalah 40,5 % dan meningkat menjadi 48,1 % pada tahun 2001 (Depkes RI, 2003).

Prevalensi anemia gizi yang tinggi ini dapat membawa akibat negative seperti : 1) Rendahnya kemampuan kerja jasmani dan produktivitas kerja, 2) Rendahnya kemampuan intelektual, dan 3) Rendahnya kekebalan tubuh, sehingga menyebabkan tingginya angka kesakitan. Dengan demikian konsekwensi fungsional dari anemia gizi menyebabkan turunnya kualitas sumber daya manusia (Husaini, 1989).

Anemia didefinisikan sebagai suatu keadaan kadar hemoglobin (Hb) didalam darah lehih rendah daripada nilai normal untuk kelompok orang yang bersangkutan. Kelompok ditentukan menurut umur dan jenis kelamin, seperti yang terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Batas Normal Kadar Hemoglobin

Kelompok

Umur

Hemoglobin

(g/100 ml)

Anak

6 bulan s/d 6 tahun

6 tahun s/d 14 tahun

11

12

Dewasa

Laki-laki

Wanita

Wanita hamil

13

12

11

Sumber : WHO, 1972.

Kebanyakan orang-orang mempunyai Hb sedikit lebih rendah daripada batas tersebut diatas, belum menunjukkan gejala-gejala anemia dan masih kelihatan berada dalam keadaan kesehatan yang baik. Untuk menggolongkan anemia lebih lanjut menjadi anemia ringan, anemia sedang dan anemia berat, belum ada keseragaman mengenai batasan-batasannya. Hal ini disebabkan oleh antara lain perbedaan kelompok umur, kondisi penderita, komplikasi dengan penyakit lain, keadaan umum gizi penderita, lamanya menderita anemia, dan lain-lain yang sulit dikelompokkan. Tetapi yang adalah bahwa semakin rendah kadar Hb, makin berat anemia yang diderita (Husaini, 1989).

Ada tiga faktor terpenting yang menyebabkan orang menjadi anemia, yaitu :

1. Kehilangan darah karena pendarahan.

2. Pengrusakan sel darah merah.

3. Produksi sel darah merah tidak cukup banyak.

Diantara ketiga macam faktor penyebab anemia tersebut, maka anemia yang merupakan masalah kesehatan masyarakat adalah anemia yang disebabkan oleh faktor terakhir yaitu anemia gizi. (Husaini, 1989)

Anemia gizi yang paling umum ditemukan di masyarakat adalah anemia karena kekurangan zat besi yang disebut anemia kurang besi. Pada wanita hamil dan bayi premature, kekurangan asam folat merupakan salah satu faktor kontribusi terhadap terjadinya anemia gizi. Pada orang yang sering mengalami malabsorpsi, kekurangan vitamin B12 merupakan salah satu penyebab anemia gizi. Dipandang dari segi kesehatan praktis, anemia gizi selalu diasosiasikan sebagai anemia kurang besi, karena kekurangan asam folat dan vitamin B12 yang jarang ditemukan pada masyarakat biasa.

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Anemia Gizi Besi

1. Asupan zat besi dalam makanan

Macam bahan makanan yang banyak mengandung zat besi dapat dilihat pada Tabel 2. Hati adalah bahan makanan yang paling banyak mengandung zat besi. Daging juga banyak mengandung zat besi. Dari bahan makanan yang berasak dari tumbuh-tumbuhan, maka kacang-kacangan seperti kedelai, kacang tanah, kacang panjang koro, buncis serta sayuran hijau daun mengandung banyak zat besi.

Selain dari pada banyaknya zat besi yang tersedia didalam makanan, juga perlu diperhatikan Faktor-faktor lain yang mempengaruhi absorpsi zat besi, antara lain macam-macam bahan makanan itu sendiri. Zat besi yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, jumlah yang dapat diabsorpsi hanya sekitar 1-6 %, sedangkan zat besi yang berasal dari hewani 7-22 %. Didalam campuran susunan makanan, adanya bahan makanan hewani dapat meninggikan absorpsi zat besi yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Faktor ini mempunyai arti penting dalam menghitung jumlah zat besi yang dikonsumsi oleh masyarakat yang tak mampu, yang jarang mengkonsumsi bahan makanan hewani. (Husaini, 1989)

Tabel 2. Zat Besi Dalam Bahan Makanan

No.

Bahan Makanan

Zat Besi (mg/100 g)

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

Hati

Dafing Sapi

Ikan

Telur Ayam

Kacang-kacangan

Tepung Gandung

Sayuran Hijau Daun

Umbi-umbian

Buah-buahan

Beras

Susu Sapi

6,0 sampai 14,0

2,0 sampai 4,3

0,5 sampai 1,0

2,0 sampai 3,0

1,9 sampai 14,0

1,5 sampai 7,0

0,4 sampai 18,0

0,3 sampai 2,0

0,2 Sampai 4,0

0,5 sampai 0,8

0,1 sampai 0,4

Sumber : Davidson, dkk, 1973 dalam Husaini, 1989

Zat besi didalam bahan makanan dapat berbentuk hem yaitu berikatan dengan protein atau dalam bentuk nonhem yaitu senyawa besi organic yang kompleks. Ketersediaan zat besi untuk tubuh kita dapat dibedakan antara hem dan nonhem ini. Zat besi hem berasal dari hemoglobin dan mioglobin yang hanya terdapat dalam bahan makanan hewani, yang dapat diabsorpsi secara langsung dalam bentuk kompleks zar besi phorphyrin (“iron phorphyrin kompleks”). Jumlah zat besi hem yang diabsorpsi lebih tinggi daripada nonhem. Untuk seseorang yang cadangan zat besi dalam tubuhnya rendah, zat besi hem ini dapat diabsorpsi lebih dari 35 %, sedangkan buat orang yang simpanan zat besinya cukup banyak (lebih dari 500 gram) maka absorpsi zat besi hem ini hanya kurang lebih 25 %. Dari hasil analisa bahan makanan didapatkan bahwa sebanyak 30 – 40 % zat besi didalam hati dan ikan, serta 50-60 % zat besi dalam daging sapi, kambing, dan ayam adalah dalam bentuk hem. (Cook, dkk dalam Husaini, 1989).

Zat besi nonhem pada umumnya terdapat didalam bahan makanan yang umumnya berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti sayur-sayuran, biji-bijian, kacang-kacangan, buah-buahan dan serealia, dan dalam jumlah yang sedikit daging, ikan dan telur. Zat besi nonhem didalam bentuk kompleks inorganic Fe3+ dipecah pada waktu percernaan berlangsung dan sebagian dirubah dari Fe3+ menjadi Fe2+ yang lebih siap diabsorpsi. Konversi Fe3+ menjadi Fe2+ dipermudah oleh adanya faktor endogenus seperti HCl dalam cairan sekresi gastric, komponen zat gizi yang berasal dari makanan seperti vitamin C, atau daging, atau ikan.

Zat gizi yang telah dikenal luas dan sangat berperanan dalam meningkatkan absorpsi zat besi adalah vitamin C. Vitamin C dapat meningkatkan absorpsi zat besi nonhem sampai empat kali lipat.Vitamin C dengan zat besi mempunyai senyawa ascorbat besi kompleks yang larut dan mudah diabsorpsi, karena itu sayur-sayuran segar dan buah-buahan yang mengandung banyak vitamin C baik dimakan untuk mencegah anemia .

Selain faktor yang meningkatkan absorpsi zat besi seperti yang telah disebutkan, ada pula faktor yang menghambat absorpsi zat besi. Faktor-faktor yang menghambat itu adalah tannin dalam the, phosvitin dalam kuning telur, protein kedelai, phytat, fosfat, kalsium, dan serat dalam bahan makanan (Monsen and Cook dalam Husaini, 1989). Zat-zat gizi ini dengan zat besi membentuk senyawa yang tak larut dalam air, sehingga lebih sulit diabsorpsi. Seseorang yang banyak makan nasi, tetapi kurang makan sayur-sayuran serta buah-buahan dan lauk-pauk, akan dapat menjadi anemia walaupun zat besi yang dikonsumsi dari makanan sehari-hari cukup banyak. Kecukupan konsumsi zat besi Nasional yang dianjurkan untuk anak balita berumur 1-3 tahun adalah 8 mg, sedangkan untuk anak balita berumur 4-6 tahun adalah 9 mg (Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi, 2003)

2. Pengetahuan

Tan (1979) mengatakan bahwa pola konsumsi pangan sangat dipengaruhi oleh adat istiadat setempat, termasuk didalamnya pengetahuan mengenai pangan, sikap terhadap pangan dan kebiasaan makan. Semakin sering suatu bahan pangan dikonsumsi dan semakin berat pangan tersebut dimakan, maka semakin besar peluang pangan tersebut tergolong dalam pola konsumsi pangan individu atau masyarakat.

Tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap perilaku dalam memilih makanan yang akan berdampak pada asupan gizinya. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan sangat penting peranannya dalam menentukan asupan makanan. Dengan adanya pengetahuan tentang gizi, masyarakat akan tahun bagaimana menyimpan dan menggunakan pangan. Memperbaiki konsumsi pangan merupakan salah satu bantuan terpenting yang dapat dilakukan untuk meningkatkan mutu penghidupan (Suhardjo, 1986).

3. Pendidikan

Menurut Hidayat (1980), tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi pangan melalui cara pemilihan bahan makanan. Orang yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih makanan yang lebih baik dalam kuantitas dan kualitas dibandingkan dengan mereka yang berpendidikan lebih rendah. Makin tinggi pendidikan orang tua, makin baik status gizi anaknya (Soekirman, 1985). Anak-anak dari ibu yang mempunyai latar belakang pendidikan yang lebih tinggi akan mendapat kesempatan hidup serta tumbuh lebih baik. Hal ini disebabkan karena keterbukaan mereka untuk menerima perubahan atau hal-hal yang baru untuk pemeriksaan kesehatan anaknya (Emelia, 1985 dalam Ginting, M, 1997).

Faktor pendidikan mengakibatkan perubahan perilaku dan mempunyai pengaruh terhadap penerimaan inovasi baru, dalam hal ini perilaku makan yang sesuai dengan anjuran gizi (Pranadji, 1988)

4. Pendapatan

Peningkatan pendapatan rumah tangga terutama bagi kelompok rumah tangga miskin dapat meningkatkan status gizi, karena peningkatan pendapatan tersebut memungkinkan mereka mampu membeli pangan berkualitas dan berkuantitas yang lebih baik. Keadaan ekonomi merupakan factor yang penting dalam menentukan jumlah dan macam barang atau pangan yang tersedia dalam rumah tangga. Bagi Negara berkembang pendapatan adalah factor penentu yang penting terhadap status gizi.

Menurut Mosley dan Lincoln (1985), pendapatan rumah tangga akan mempengaruhi sikap keluarga dalam memilih barang-barang konsumsi. Pendapatan menentukan daya beli terhadap pangan dan fasilitas lain. Semakin tinggi pendapatan maka cendrung pengeluaran total dan pengeluaran pangan semakin tinggi (Hardinsyah & Suhardjo, 1987).

Rendahnya pendapatan (keadaan miskin) merupakan salah satu sebab rendahnya konsumsi pangan dan gizi serta buruknya status gizi. Kurang gizi akan mengurangi daya tahan tubuh terhadap penyakit, menurunkan produktivitas kerja dan pendapatan. Akhirnya masalah pendapatan rendah, kurang konsumsi, kurang gizi dan rendahnya mutu hidup membentuk siklus yang berbahaya (Hardinsyah & Suhardjo, 1987)

5. Frekuensi Makan

Masalah gizi pada hakikatnya adalah masalah kesehatan masyarakat, namun penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja. Penyebab timbulnya masalah gizi adalah multifaktor, oleh karena itu pendekatan penanggulangannya harus melibatkan berbagai sector yang terkait.

Pola asuh merupakan suatu sistem atau tata cara seorang ibu dalam memenuhi kebutuhan terutama memberi makan dan merawat anak dengan baik. Menurut Nasedul dalam Sudarmiati (2006) semua orang tua harus memberikan hak untuk bertumbuh. Semua anak harus memperoleh yang terbaik agar dapat tumbuh secara penuh, tumbuh sesuai dengan apa yang mungkin dicapainya, bertumbuh sesuai dengan kemampuan tubuhnya.

Salah satu factor yang paling penting untuk meningkatkan status gizi adalah konsumsi makanan. Semakin baik konsumsi atau asupan zat gizi maka semakin besar kemungkinan terhindar dari status gizi yang kurang atau buruk, baik dari segi jumlah maupun dari segi frekuensi makanan yang dikonsumsi.

Frekuensi makan pada keluarga di Indonesia umumnya adalah tiga kali dalam sehari. Hal ini terkait dengan masalah fisiologis, artinya hampir semua zat gizi itu di metabolisme dalam tubuh selama kurang lebih dari 4 jam. Untuk itu maka dianjurkan frekuensi makan yang baik adalah berpatokan dengan limit waktu metabolisme itu.

6. Jenis Bahan Makanan

Menurut Daftar Komposisi Bahan Makanan yang dikeluarkan oleh Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, ada 11 golongan bahan makanan. Berdasarkan penggolongan ini kemudian dapat dianalisa konsumsi zat gizi yang diasup oleh seseorang.

Setiap bahan makanan mempunyai susunan kimia yang berbeda-beda dan mengandung zat gizi yang bervariasi pula baik jenis maupun jumlahnya. Baik secara sadar maupun tidak sadar manusia mengkonsumsi makanan untuk kelangsungan hidupnya. Dengan demikian jelas bahwa tubuh manusia memerlukan zat gizi atau zat makanan, untuk memperoleh energi guna melakukan kegiatan fisik sehari-hari, untuk memelihara proses tubuh dan untuk tumbuh dan berkembang khususnya bagi yang masih dalam pertumbuhan (Suhardjo, 1992).

Berbagai zat gizi yang diperlukan tubuh dapat digolongkan kedalam enam macam yaitu (1) karbohidrat, (2) protein, (3) lemak, (4) vitamin, (5) mineral dan (6) air. Sementara itu energi yang diperlukan tubuh dapat diperoleh dari hasil pembakaran karbohidrat, protein dan lemak di dalam tubuh. Di alam ini terdapat berbagai jenis bahan makanan baik yang berasal dari tumbuh-tumbuhan yang disebut pangan nabati maupun yang berasal dari hewan yang dikenal sebagai pangan hewani (Suhardjo, 1992).

Apabila konsumsi makanan sehari-hari kurang beraneka ragam, maka timbul ketidakseimbangan antara masukan zat-zat gizi yang diperlukan untuk hidup sehat dan produktif. Dengan mengkonsumsi makanan sehari-hari yang beraneka ragam, kekurangan zat gizi jenis makanan lain diperoleh sehungga masukan zat-zat gizi menjadi seimbang. Jadi, untuk mencapai masukan zat-zat gizi yang seimbang tidak mungkin dipenuhi hanya oleh satu jenis bahan makanan, melainkan harus terdiri dari aneka ragam bahan makanan (Khumaidi, 1994).

`

Selasa, 27 November 2007

STATUS ANEMIA BALITA DAYAK KANAYATN MEMPRIHATINKAN

Anemia gizi merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia. Prevalensi anemia gizi besi pada balita sebagian besar disebabkan kekurangan zat besi dalam makanan. Akibat nyata dari anemia gizi terhadap kualitas sumber daya manusia tergambar pada angka kematian ibu dan bayi, menurunkan prestasi belajar anak sekolah dan produktifitas pekerja. Dari aspek konsumsi masalah yang belum terselesaikan adalah rendahnya konsumsi oleh masyarakat kelompok ekonomi rendah. Secara makro konsumsi pangan telah memenuhi angka kebutuhan gizi yang dianjurkan. Namun analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa masih terdapat cukup banyak masyarakat yang mengalami kekurangan konsumsi pangan terutama keluarga balita yang berpendapatan rendah .

Telah dilakukan penelitian pada tahun 2006 untuk mengetahui status anemi pada balita serta faktor-faktor yang berhubungan dengan asupan zat besi pada makanan anak balita Suku Dayak Kanayatn. Metode penelitian ini menggunakan desain cross sectional, dilakukan di Desa Saham Kabupaten Landak. Responden penelitian adalah ibu-ibu balita. Jumlah total responden sebanyak 68 ibu balita. Uji statistik yang digunakan adalah chi-square dan uji regresi logistik.

Hasil penelitian menemukan sebanyak 48,5 persen anak balita menderita anemia. Kemudian sebanyak 44,1 % anak balita mempunyai asupan zat besi defisit atau kurang dari 70 % anjuran kecukupan gizi yang dianjurkan. Hasil uji statistik chi-square menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara asupan zat gizi besi dengan status anemia anak balita (p = 0,023), ada hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan gizi ibu dengan status anemia anak balita (p = 0,004), sedangkan variabel tingkat pendidikan ibu dan tingkat pendapatan keluarga tidak mempunyai hubungan dengan status anemia anak balita (p > 0,05). Dari hasil analisis multivariat, diperoleh hasil bahwa variabel yang paling berpengaruh terhadap status anemia anak balita adalah tingkat pengetahuan gizi ibu dengan nilai eksponential (B) atau Odds Ratio variabel pengetahuan adalah sebesar 3,850 artinya dapat disimpulkan pengetahuan gizi ibu yang baik 3,8 kali lebih baik status anemianya dibanding dengan pengetahuan gizi ibu yang kurang setelah dikontrol Nilai Eksponential (B) atau Odds Ratio variabel asupan zat gizi besi adalah sebesar 2,494 artinya anak balita yang asupan zat gizi besinya cukup 2,4 kali lebih baik status anemianya dibandingkan dengan anak balita yang asupan zat gizi besinya kurang.

Sabtu, 24 November 2007

No.
JUDUL
PENELITI
TAHUN
1.
Pembuatan selai lidah buaya (Aloe Vera) : Pengaruh konsentrasi gula terhadap daya terima konsumen selai lidah buaya.
Utama
2000
2.
Perbedaan Kadar Timbal Dalam Air Minum Berdasarkan Jenis Atap Rumah Di Kota Pontianak
Pendamping
2000
3.
Tingkat ketelitian bidan desa dan dukun bayi dalam penentuan BBLR dengan menggunakan pita lida dibandingkan hasil penimbangan serta faktor yang mempengaruhinya.
Pendamping
2001
4.
Pengaruh penambahan HFS (High Fructose Syrup) terhadap daya terima permen jelly nenas.
Pendamping
2003
5.
Hubungan kebiasaan mengkonsumsi fast food terhadap kejadian obesitas pada anak SD Swasta di Kecamatan Pontianak Selatan.
Pendamping
2005
6.
Hubungan asupan zat gizi besi dengan status anemia anak balita pada masyarakat Suku Dayak Kanayatn di Kabupaten Landak.
Utama
2006